Kangsri News(18/9). Hari Kamis 19/9/2019 disebut Hari Kamis Pahingan di Daerah Istimewa Yogyakarta kita akan melihat memakai pakaian adat Khas Yogyakarta. Biasanya memakai Surjan
Bersumber dari http://tentangsurjan.blogspot.com/2016/06/filosofi-sejarah-mitos-budaya-jenis, Pakaian atau dalam bahasa jawa disebut dengan “pengageman” yang melekat di badan adalah simbol identitas budaya yang dalam sekali maknanya, disamping simbol lain yakni bahasa, rumah tinggal, makanan ataupun seni musik dalam kelengkapan upacara tradisi. Tanpa disadari, pakaian yang banyak dikenakan saat ini telah terbaratkan dan menjauhkan orang Jawa dari jati diri mereka. Oleh karena itu perlu bagi masyarakat untuk mengenal sejarah maupun makna filosofis pakaian tradisional. Dalam hal ini akan diuraikan informasi-informasi mengenai “pengageman takwa” atau surjan.
Pengageman Jawa sebagai penutup badan dibuat oleh Sunan Kalijaga model pakaian ini sebagai Pakaian rohani (takwa) agar si pemakai selalu ingat kepada Allah SWT, kemudian oleh raja-raja Mataram pakaian takwa ini dipakai hingga sekarang ini. Setelah perjanjian Giyanti tahun 1755, Sultan HB I menanyakan perihal pakaian yang perlu diatur kepada Susuhunan Paku Buwana III. Pangeran Mangkubumi mengatakan bahwa Ngayogyakarta sudah siap dengan rencana mewujudkan model ’pakaian takwa’, sedang PB III mengatakan belum siap. Lalu Mangkubumi memperlihatkan rencana pakaian tersebut dan mengatakan jika dikehendaki dipersilahkan dipergunakan oleh Surakarta Hadiningrat. PB III setuju sambil menanyakan bagaimana dengan pakaian Ngayogyakarta, yang dijawab bahwa untuk Ngayogyakarta akan melanjutkan saja pengageman takwa dari Mataram yang suda ada.
Pakaian takwa sering disebut SURJAN (sirajan) yang berarti Pepadhang atau Pelita. Di dalam ajarannya HB I bercita-cita agar pimpinan Negara dan Penggawa Kerajaan memiliki Jiwa dan Watak SATRIYA, dimana tidak akan lepas dari sifat-sifat: Nyawiji, bertekad golong-gilig baik berhubungan dengan Allah SWT maupun peraturan dengan sesama. Sifat Greget (tegas bersemangat), Sengguh (percaya diri penuh jati /harga diri) dan sifat Ora Mingkuh, tidak melepas tanggung jawab dan lari dari kewajiban. Maka figur satriya Ngayogyakarta ideal yakni seseorang yang dilengkapi pengageman Takwa. Bentuk pakaian Takwa adalah; Lengan panjang, ujung baju runcing, leher dengan kancing 3 pasang (berjumlah 6), dua kancing di dada kanan kiri, tiga buah kancing tertutup.
Filosofi
Surjan menurut KRT Jatiningrat Tepas Dwarapura Keraton Yogyakarta berasal dari istilah siro + jan yang berarti pelita atau yang memberi terang. Surjan juga disebut pakaian “takwa”. Oleh karena itu di dalam pakaian itu terkandung makna-makna filosofi yang cukup dalam, di antaranya bagian leher baju surjan memiliki kancing 3 pasang (6 biji kancing) yang kesemuanya itu menggambarkan rukun iman. Rukun iman tersebut adalah iman kepada Allah, iman kepada malaikat, iman kepada kitab-kitab, iman kepada utusan Allah, iman kepada hari kiamat, iman kepada takdir. Selain itu surjan juga memiliki dua buah kancing di bagian dada sebelah kiri dan kanan. Hal itu adalah simbol dua kalimat syahadat.
Ada pula tiga buah kancing di dalam (bagian dada dekat perut) yang letaknya tertutup (tidak kelihatan) dari luar yang menggambarkan tiga macam nafsu manusia yang harus diredam/dikendalikan/ditutup. Nafsu-nafsu tersebut adalah nafsu bahimah (hewani), nafsu lauwamah (nafsu makan dan minum), dan nafsu syaitoniah (nafsu setan). Terdapat 5 kancing pada bagian lengan panjang kiri dan kanan. Angka 5 lazim berkaitan dengan rukun Islam (syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji).
Jenis pakaian atau baju ini bukan sekadar untuk fashion dan menutupi anggota tubuh supaya tidak kedinginan dan kepanasan serta untuk kepantasan saja, namun di dalamnya memang terkandung makna filosofi yang dalam.
ada pula pakaian takwa yang dikhususkan untuk putri yang biasanya dikenakan oleh abdi dalem putri, para penabuh gamelan (wiyaga), dan para sinden serta abdi keparak sesuai dengan perintah dan tatacara yang diperkenankan oleh keraton. Baju takwa untuk putri ini berwarna hitam dan sering disebut sebagai “ageman janggan”. Ageman janggan memiliki warna dasar hitam, warna hitam adalah simbol ketegasan, kesederhanaan, dan kedalaman. Yakni sifat kewanitaan yang suci dan bertakwa. Sedangkan janggan artinya bunga tumbuhan gadhung atau kembang gadhung. Simbol tersebut hendak melukiskan keindahan dan kesucian kaum perempuan karaton dan perempuan perempuan jawa pada umumnya.
Romo Tirun mengatakan bahwa nilai-nilai luhur yang dapat diangkat dari pakaian takwa tersebut adalah ketakwaan, persatuan dan kesatuan yang intinya “golong gilik”golong artinya bulat tidak bersudut gilik artinya silindris memanjang (tanpa sudut) yang mengandung arti persatuan dan kesatuan yang tanpa syarat yang menyatu, satu antara yang lain menyatu antara alam, sesama makhluk dan Tuhannya. Harapan para Sunan untuk masyarakat agar mampu menciptakan demokratisasi memiliki bahasa yang satu yaitu bahasa kedaton atau bahasa bagongan dengan tujuan disamakan satu dengan yang lain. Begitu pula Sultan dengan Abdi Dalem seperti saudara bukan seperti Raja dengan pembantu rumah tangga, tidak dipandang sebagai orang lain malainkan bersaudara dengan Sultan. Hal tersebut dicetuskan dengan membuat pakaian yang melambangkan persatuan dan kesatuan. Intinya adalah gotong royong berat sama dipikul ringan sama dijinjing yaitu Pancasila 5 sila diperas menjadi 3 Sosio demokrasi Sosio nasionalisme dan Ketuhanan yang Maha Esa dari 3 sila itu menjadi 1 yaitu Eka Sila yaitu gotong royong inti daripada Pancasila adalah gotong royong, musyawarah utuk mufakat budaya rembugan musyawarah mufakat itu berembuk bersama bukan secara voting. Inti dari falsafah baju takwa adalah Pancasila. Salah satu pratanda keistimewaan hanya ada di Yogyakarta. Dari pakaian sampai dengan perilaku, hubungan antar manusia, Tuhannya, dan dengan alam semesta.
Menurut Romo Tirun identitas yang melekat pada saat seseorang mengenakan baju surjan adalah bahwa dia berarti orang jawa (yogya), beriman (bertakwa), menjunjung tinggi budi luhur masyarakat jawa yang bermasyarakat berjiwa gotong-royong. Karena memang baju surjan terutama Lurik adalah ageman masyarakat pada jaman dahulu yang sudah melekat dengan identitas jawa (yogya) yang menjunjung budi luhur. Dan sebagai tanda keistimewaan karena hanya ada di jogja.
Berpakaian adalah sebuah bahasa, sebuah sistem nonverbal dari komunikasi karena melalui simbol itu ditemukan pribadi pemakai dan penikmatnya. Sebelum seseorang mulai bicara mengungkapkan jati dirinya, orang lain sudah bisa melihat status sosial, atau jenis kelamin orang tersebut dari pakaiannya (Liliweri, 2009: 211).
Dalam pendekatan kebudayaan khusus baju surjan dapat diartikan sebagai alat komunikasi nonverbal yang menjadi simbol ikonik yang menunjukkan batas-batas budaya dengan nilai budaya lainnya di Indonesia. Surjan sebagai pakaian adat Jawa dapat dipelajari sebagai bentuk hasil kebudayaan, nilai, norma, kepercayaan, sistem sosial dan budaya, sistem ekonomi, mata pencaharian dan adat istiadat di Jawa (yogya pada khususnya).
Maka menurut K.M.T. Sukarno Broto semua dari kita sebenarnya adalah abdi dalem, yang dimaksudkan dengan abdi dalem adalah Abdi Budaya. Semua orang dapat menjadi abdi dalem karena semua orang dapat menjadi abdi dari budaya atau mengabdikan dirinya untuk melestarikan budaya. Dengan menggunakan baju surjan maka kita dapat menjadi Abdi Budaya di masyarakat khususnya jawa (K.M.T. Sukarno, 2016 Abdi Dalem Karaton Ngayogyokarto Hadiningrat).