Mbah Ratijo, kakek berumur 70 tahun asal Blumbang Karangsari Pengasih Kulon Progo menjadi ahli pembuat iket. Dengan usia lanjut ini mbah Ratijo masih dengan teliti membuat setiap bagian iket yang memiliki banyak filosofi.
Kakek usia lanjut yang sehari-hari biasa dipanggil Mbah Tijo ini, sudah memulai memproduksi Iket atau blangkon sejak lulus Sekolah Dasar. Itu artinya, sudah berpuluh tahun yang lalu. Tapi sampai sekarang, iket pesanannya tetap laris. Sejumlah orang, bahkan menjadi pelanggan tetap.
Simbah berkisah, pekerjaan abadi itu sudah ditekuni, sejak sebelum gegeran Gestapu.
“Kulo ndamel iket utawi blangkon meniko awit lulus SD. Kulo lulus SD tahun 1964, saget ndamel iket kaliyan kakang kulo ipe sik manggen ing Blubuk Clereng,” katanya sambil ubet membuat iket.
Mbah Ratijo memang terlihat terampil. Tangannya yang keriput dan mulai buyuten, tetap cekatan, karena ia seorang ahli yang ditempa pengalaman. Lebih dari setengah abad membuat iket, adalah pengalaman tak terbantah buat simbah.
Tapi dulu, sebelum membuat blangkon, sebenarnya Mbah Ratijo adalah seniman kerawitan. Ia ikut berkarya sebagai niyogo. Tidak hanya niyogo kethoprak, melainkan juga wayang kulit. Ia bercerita, sejak kecil, senang dengan kesenian terutama seni Jawa.
Sisa-sisa kecintaannya pada kerawatian masih sering terdengar. Sebab secara tidak sengaja, simbah terkadang rengeng-rengeng, mendendangkan mocopat. Suaranya yang bergetar karena usia, terdengar enak.
Membuat iket, bagi Mbah Tijo sebetulnya juga pekerjaan sambilan. Sebab, pekerjaan utamanya adalah sebagai tukang kayu, namun setelah banyak pelanggannya, Mbah Tijo memutuskan menekuni meninggalkan pekerjaan tukang kayu dan menjadi pembuat blangkon. Terlebih, profesi tukang kayu semakin tergeser posisinya oleh kemajuan teknologi.
Salah seorang pelanggan iket buatan Mbah Tijo adalah Supriyanto. Pak guru ini, banyak pesan blangkon kepada simbah, terutama semenjak ada aturan memakai busana adat Jawa setiap Kamis Paing.
Guru Supri hanya satu pelanggan, masih banyak pelanggan lain yang puas dengan blangkon buatan Mbah Tijo. Apalagi, simbah tidak pernah membandrol harga iket buatannya. Berapapun dananya tetap dikerjakan.
“Ingkang baku meniko paseduluran, menawi rejeki sampun ditentoke ingkan kuaos. Njih to,” katanya, tersenyum.
FYI! Filosofi Blangkon Yogyakarta
Perlu diketahui bahwa blangkon dengan gaya Yogyakarta memiliki banyak filosofi. Selain itu juga banyak pula perbedaan dari blangkon tersebut.
Bentuk blangkon dengan gaya Yogyakarta hanya terdapat dua buah, yaitu : blangkon dengan bentuk Mataraman dan blangkon dengan bentuk Kagok.Kedua blangkon tersebut terbentuk dari bagian-bagian yang hampir sama, yaitu wiron/wiru, mondolan, cetetan, kemadha, dan tanjunga.
Motif-motif yang digunakan dalam pembuatan blangkon antara lain : motif modang, blumbangan, kumitir, celengkewengen, jumputan, sido asih, sido wirasat, taruntum. Motif-motif di atas adalah motif yang sering digunakan dalam pembuatan blangkon dengan gaya Yogyakarta . Selain motif utama di atas masih ada motif-motif lain yang sering digunakan dalam pembuatan blangkon. Pemakaian motif diluar motif yang dibuat khusus untuk motif iket merupakan perkembangan dalam pemakaian motif batik.
Makna simbolis bentuk blangkon gaya Yogyakarta antara lain :
- Wiron/wiru, berjumlah 17 lipatan yang melambangkan jumlah rakaat sholat dalam satu hari.
- Mondolan mempunyai makna kebulatan tekad seorang pria dalam melaksanakan tugasnya walaupun tugas yang diberikan sangat berat.
- Cetetan, mempunyai makna permohonan pertolongan kepada Allah SWT.
- Kemadha, bermakna menyamakan atau menganggap sama seperti putra sendiri.
- Tanjungan mempunyai makna kebagusan, artinya supaya terlihat lebih tampan sehingga disanjung-sanjung dan dipuja.
Sedangkan makna simbolis motif yang diterapkan pada pembuatan blangkon antara lain :
- Motif Modang, mengandung makna kesaktian untuk meredam angkara murka, yaitu sebelum mengalahkan musuh dari luar harus mengalahkan musuh yang datangnya dari dalam sendiri.
- Motif Celengkewengen, menggambaran keberanian juga berarti sifat kejujuran, polos dan apa adanya
- Motif Kumitir, merupakan pengambaran orang yang tidak mau berdiam diri dan selalu berusaha keras dalam kehidupannya.
- Motif Blumbangan, berasal dari kata blumbang yang berarti kolam atau tempat yang penuh dengan air. Air sendiri merupakan salah satu dari sumber kehidupan.
- Motif Jumputan, berasal dari kata jumput yang berarti mengambil sebagian atau mengambil beberapa unsur yang baik.
- Motif Taruntum, motif ini berbentuk tebaran bunga-bunga kecil yang melambangkan bintang dimalam hari.maknanya bahwa kehidupan manusia tidak lepas dari dua hal, seperti gelap terang, bungah susah, kaya miskin dan sebagainya.
- Motif Wirasat, artinya berupa pengharapan supaya dikabulkan semua permohonannya dan bisa mencapai kedudukan yang tinggi serta bisa mandiri terpenuhi secara materi. h. Motif Sido Asih, motif ini mempunyai harapan agar mendapat perhatian dari sesama dan saling mengasihi.
Tambahan adanya mondolan di blangkon ngayogyakarta dibakukan oleh Hamengkubuwono VII, untuk menyiasati rambut pria Jogja yang sebelumnya panjang mulai dipengaruhi budaya barat dengan memotongnya pendek seperti kita sekarang. Jadi rambut yang sebelumnya dimasukkan pada bagian belakang udheng/blangkon yang membuat adanya tonjolan rambut pd belakang blangkon diganti dengan tonjolan mondolan. Adaptasi ini tidak terjadi pada blangkon gaya Solo sehingga pada blangkon Solo kempes di belakang.
sumber : https://www.kabarno.com/meniko-mbah-ratijo-ahli-ndamel-iket-saking-pengasih/