[KBR|Warita Desa] Talas, bahan pangan lokal ini mungkin tak cukup populer untuk diolah jadi berbagai makanan. Meski proses menanamnya terbilang mudah, namun pengolahan talas yang cukup rumit membuat warga di Makassar, Sulawesi Selatan tak banyak melirik umbi ini.
Namun hal berbeda dilakukan Achmad Nur Fachry Machmud. Ia melihat ada potensi besar dari talas yang oleh masyarakat dianggap tanaman liar ini. Banyaknya tanaman talas yang dibiarkan tumbuh liar membuatnya mencoba berbagai cara agar talas tak lagi dipandang sebelah mata.
“Jadi pada waktu itu, kita ke daerah Malakaji, kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Di sana kita melihat talas itu hanya sebagai tanaman liar, dan tidak dikonsumsi oleh masyarakat sekitar. Malahansering dibuang. Nah, oleh karena itu kita mencoba memanfaatkan itu,” kata Fachry
Bersama Zulfikri Al Qowy, Achmad Nur Fahry Machmud atau Aan mencoba membuat berbagai olahan berbahan dasar talas. Apalagi, talas tumbuh subur di Makassar. Tujuan mereka tak lain untuk membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat serta membudidayakan tanaman lokal.
“Untuk misinya itu kita saat ini salah satunya membuka lapangan pekerjaan, membudidayakan pangan lokal, dan membuat makanan olahan yang sehat dan nikmat,” katanya.
Langkah pertama yang dilakukan Aan adalah mencari dan memastikan pasokan talas aman. Ia bekerjasama dengan petani lokal yang ada di Malakaji, Gowa, Sulawesi Selatan.
“Di kebun sendiri itu sudah ada 8 petani yang menggarap talas di daerah sana. Dan kita juga sudah pernah mengambil dari beberapa petani yang sudah mencoba membudidayakan talas. Itu ada sekitar 13 petani, itu rekanan, kayak kita sudah pernah mengambil di sana,” ungkap Aan.
Langkah kedua, Aan mengolahnya menjadi aneka rupa makanan. Mulai dari keripik, sup talas hingga bakso dan kue tradisional. Sampai akhirnya pilihan terakhir jatuh pada Pacco alias kue kering dari umbi talas.
“Sebelumnya itu kita sudah pernah mencoba menjual keripik dari talas. Tapi karena keripik itu terlalu banyak mengonsumsi talas, kita mencoba mengolah talas dengan hal-hal yang lainnya. Sampai akhirnya kita mencoba membuat cookies,” jelasnya.
Kandungan serat talas tinggi. Cukup untuk memenuhi 20 persen kebutuhan serat per hari. Talas juga jadi sumber karbohidrat alternatif pengganti tepung dan beras.
Di tangan Qowy dan Aan, produk olahan talas digadang-gadang sebagai produk sehat. Ini karena semua bahan yang digunakan merupakan bahan sehat dan aman dikonsumsi.
“Berhubung kita produknya healthy food atau produk makanan sehat, jadi di sini kita tidak menggunakan gula putih, kita menggunakannya palm sugar. Terus kita juga tidak menggunakan telur, dan tidak menggunakan tepung. Jadi gluten free. Tepung itu kita ganti dengan talas,” kata Aan.
“Untuk misinya itu kita saat ini salah satunya membuka lapangan pekerjaan, membudidayakan pangan lokal, dan membuat makanan olahan yang sehat dan nikmat,”
- Achmad Nur Fahry Machmud
Usaha ini berbuah manis. Masyarakat mulai merasakan manfaat dari pemanfaatan talas yang diolah menjadi bahan makanan. Eka adalah salah satunya. Perempuan berusia 21 tahun ini adalah salah satu pekerja tetap yang memproduksi Pacco.
Eka mengaku, sejak bekerja membuat kue kering berbahan dasar talas, ia bisa membantu perekonomian keluarga. Eka mendapatkan gaji 1,2 juta setiap bulan. Itu belum termasuk bonus tambahan, jika pesanan membeludak.
“Saya di sini kerja dari hari Senin sampai Jumat, mulai dari jam 8 pagi sampai jam 4 sore,” kata Eka.
Paccoo memproduksi rata-rata 50 bungkus cookies setiap hari. Kinicookies Pacco hadir dengan tiga varian rasa.Lewat kue kering dari bahan dasar yang semula dijauhi warga lokal, Pacco meraup omzet sampai puluhan juta rupiah perbulan.
“Ada cokelat, tiramisu dan greentea. Nah untuk harga dari paccoo ini, kita jualnya itu kisaran harga 45 ribu, itu dia beratnya 200 gram per kemasan. Bulan kemarin itu kita dapatnya sekitar 60 juta per bulan. Sebelumnya bisa lebih banyak sih, kalau pesanannya berlebih itu bisa sampai 90 atau 80 juta perbulan,” katanya.
Pelanggan cookies
Pacco kebanyakan teman dan keluarga. Tapi Aan siap meraih pasar lebih besar dengan menyiapkan cookiesPacco sebagai cinderamata eksklusif.
“Salah satunya sekarang itu kita sudah kerjasama dengan Universitas Hasanuddin. Jadi setiap ada acara atau kegiatan, Unhas bisa pesan ke kita. Terus dari produk kemasannya juga, stikernya, kita bisa custom, sesuai keinginan pemesan,” katanya.
Jargon kue kering Pacco ini adalah ‘alms in every bite’atau sedekah dalam setiap gigitan. Kata Aan, lewat usaha ini ia ingin membantu para petani lokal untuk meningkatkan nilai jual dari bahan pangan lokal
Reporter : Asti Yuanasari
Editor : Friska Kalia